Selasa, 27 Mei 2008
Ilmu Hadits adalah suatu ilmu untuk memeriksa dan menentukan benar atau tidaknya suatu ucapan atau perbuatan yang dikatakan dari Nabi s.a.w.
Kalau dengan dasar-dasar yang tertentu sudah dapat diterima bahwa ucapan atau perbuatan itu dari Rasulullah s.a.w, maka dikatakan Hadits Shahih. Kalau tidak menurut dasar-dasar itu dikatakan Hadits Dhaif (=lemah).
Tentang Hadits ada beberapa macam yaitu :
1. Hadits Shahih, dipakai sebagai pokok untuk menetapkan hukum-hukum bagi masalah Agama.
Hadits-Hadits yang masuk bagian Shahih ada beberapa tingkatan yaitu :
I. Hadits Mutawatir, yaitu suatu Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak dari Nabi s.a.w, lalu disampaikan kepada orang banyak pula, demikian seterusnya sampai tercatat dalam kitab sekarang.
II. Hadits Shahih Li-Dzatihi, yaitu Hadits yang Shah secara sanadnya, bukan karena dibantu oleh yang lain.
III. Hadits Shahih Li-Ghairihi, yaitu Hadits yang derajatnya dibawah sedikit dari Hadits yang Shahih, lalu dibantu dengan Hadits yang seumpamanya atau dengan cara lain.
IV. Hadits Hasan Li-Dzatihi, yaitu Hadits Shah, tetapi derajatnya dibawah sedikit sari Hadits Shahih (karena diantara rawi-rawinya yang hafalannya sekali dua kali terganggu).
V. Hadits Hasan Li-Ghairihi, yaitu Hadits yang lemahnya agak ringan, lalu dibantu atau dikuatan dengan yang seumpamanya atau dengan jalan lain yang dapat diterima.
2. Hadits Lemah, yaitu Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih, yaitu Hadits yang cacat, yang tercela atau yang tidak dapat diterima menurut ketentuan-ketentuan dan syarat yang ada dalam ilmu Hadits.
Diantaranya : suatu itu dianggap dhaif, lemah atau tercela, apabila diantara orang-orang yang menceritakannya itu ada rawi yang bersifat :
1. dituduh berbohong 2. dituduh suka keliru
3. dituduh suka salah 4. pembohong
5. suka melanggar hukum Agama 6. tidak dapat dipercaya
7. banyak salah dalam meriwayatkan 8. tidak kuat hafalan
9. bukan orang islam 10. belum baligh
11. beruah akal 12. tidak dikenal orangnya
13. tidak dikenal sifatnya 14. suka lupa
15. suka menyamar dalam meriwayatkan 16. suka ragu-ragu
Dan lain-lain.
3. Derajat Hadits Lemah,. Hadits lemah juga berderajat sebagaimana Hadits Shahih, menurut kuat dan tidaknya celaan terhadap sifat si rawi.
“Apabila Hadits ini dibantu dengan satu sanad lain yang kurang lebih sama dengan dia, maka Hadits itu dapat dipakai, karena sudah menngkat derajat sedikit-banyak memaksa kita menerimanya. Hadits yang demikian dimasukkan dalam bagian Hadits Hasan Li-Ghairihi, biasanya dipakai untuk hukum-hukum yang ringan pula, seperti hukum sunnah, makruh, atau mubah. Hadits yang menguatkan satu Hadits yang lain, dinamakan Syahid.
4. Hadits Fa-Dha-Ilul-‘Amaal, yaitu keutamaan-keutamaan amal. Hadits ini ialah Hadits-Hadits yang menerangkan keutamaan sesuatu amal yang isinya bersifat menggemarkan atau mengancam.
Hadits Fa-Dhi-Ilul-‘Amaal ini kalau shah, sudah tidak ragu-ragu lagi untuk diterima dan dipakai.
Yang menjadi soal, apabila Hadits itu lemah.
Diantara pendapat-pendapat itu, ada yang berkata bahwa Hadits-Hadits Dhaif itu subhat bagi hokum sunnah, dan juga untuk ih-thiat, hendeknya Hadits lemah itu damalkan.
Kita harus mengetahui dan mengerti, bahwa yang dikatakan Hadits lemah itu, ialah Hadits yang tidak dapat diterima atau yang meragu-ragukan untuk diterima, karena tidak memenuhi syarat-syarat Hadits Shahih atau Hasan, dan yang seumpamanya.
Kalau Hadits yang nyata tidak dapat diterima, akan dipakai adalah suatu keganjilan, sekalipun Hadits itu berhubungan dengan Fa-Dha-Ilul-‘Amaal, karena kalau kita pakai atau berpegang padanya, berarti kita berpegang kepada Sesutu yang belum tentu benar atau sesuatu yang meragu-ragukan.
Berikut ini saya tunjukan satu contoh Hadits Fa-Dha-Ilul-‘Amaal yang biasa dipakai oleh ahli taqlid yang tidak mau meninbang lebih jauh, yaitu :
“Manusia yang paling besar dosanya, adalah orang yang wuquf (=berdiri) dibukit ‘Arafah, lalu ia menyangka bahwa Allah tidak mengampuninya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Khatib dan Ad-Dailamy, dari Ibnu Umar dengan sanad yang lemah. (Al-Iraqy, lihat kitab Ihya ‘Ulumiddin I, hal. 216).
Hadits ini menerangkan keutamaan orng yang wuquf di
Kalau hadits lemah ini kita pakai dengan alas an Fa-Dha=Ilul-‘Amaal, berarti kita mesti percaya bahwa Allah mengampuni orang yang wuquf di Arafah.
Kalau dikatakan bahwa hadits itu hanya mau menunjukan keutamaan wuquf di Arafah saja, tidak perlu kita memakai hadits itu, sedang wuquf itu sudah termasuk dalam salah satu syarat atau rukun haji, yang sudah tentu lebih utama karena diperintah oleh agama.
5. Adakah Hadits Nabi yang bertentangan dengan Ayat AlQuran atau sebaliknya ? Kita sudah percaya dengan sepenuhnya, bahwa Quran itu dari Allah. Allah mempunyai kesempurnaan dalam semua sifatn-Nya. Apa yang ditentukan, difirmankan, dalam AlQuran, walau bagaimana pun juga, tidak akan bertentangan, baik dengan keadaan, atau demgan firman-Nya sendiri atau dengan yang yainnya.
Hadits yang sudah shah, ialah ucapan atau perbuatan Nabi s.a.w. Kita harus percaya bahwa ucapan dan perbuatan Nabi s.a.w. mendapat pimpinan dari Allah dengan perantara wahyun-Nya. Maka tentu sabda atau perbuatan Nabi itu tidak mungkin bertentangan, baik dengan sabda atau perbuatan beliau sendiri, atau dengan firman Allah.
Ini merupakan suatu kepercayaan yang harus ada pada setiap muslim.
Karena itu, tidaklah akan terdapat hadits nabi yang sudah shah, bertentangan dengan salah satu ayat Al Quran atau sebaliknya.
Dalam kenyataan terdapat beberapa hadits yang sudah shah nampaknya bertentangan dengan Al Quran, padahal bukan sebenarnya bertentangan, hanya karena kita tidak mampu mendudukannya/menafsirkannya, maka kita katakan dia bertentangan.
Terhadap keadaan seperti yang tersebut itu, perlu kita pelajari jalan-jalan dan cara-cara mendudukan keterangan-keterangan yang nampaknya bertentangan itu, sebagaimana terbentang dalam “Ilmu Ushul Fiqih”.